Oleh : Anshori, S.H, M.H

” Law is widely viewed as an empty vessel to be filled as desired, and to be manipulated (Hukum secara luas dipandang bagaikan bejana kosong yang diisi dengan harapan-harapan dan dimanipulasi) ...( Brian Z Tamanaha:2009)

Hukum tidak boleh tajam searah dan tumpul pada arah lain, tampaknya hanyalah ekspektasi bagi para perindu keadilan. Dalam praktiknya, hukum sering dipakai hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, dan dampak yang dikaikan adalah lambat atau cepat hukum akan kehilangan legitimasinya di tengah masyarakat. Untuk itu pemangku kekuasaan sudah seharusnya memiliki kesadaran awal tentang terreduksinya supremasi hukum dan dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Hukum dicipta dan direncanakan oleh pembuat hukum,  untuk diimplementasikan dalam rangka melahirkan ketertiban. Hukum dibuat untuk dilaksanakan, hukum tidak lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan lahirnya ketertiban, apabila hukum sebagai norma ditaati dan  dilaksanakan sebagaimana mestinya. Apa yang tertulis dalam hukum, yang berisikan kaidah-kaidah dan norma-norma meniscayakan untuk digerakan oleh orang-orang, agar norma dan kaidah dimaksud menjadi implementatif. Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak dapat melakukan semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain adalah manusia-manusia.

Fenomena hukum dan penegakkannya hari ini justru menunjukan sebuah potret yang memprihatinkan dan sangat ironis, tidak sebagaimana yang diharapkan. Hukum yang diharapkan sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan, yang kongkritnya adalah dengan hukum diharapkan tercipta keadilan dan kesejahteraan, tapi dalam kenyataannya apa yang menjadi harapan itu adalah kosong. Setiap peristiwa hukum yang telah dipertontonkan kepada rakyat. Semakin mempertegas statement Brian Z Tamanaha, bahwa hukum adalah laksana “ empty vessel” (bejana kosong) yang diisi dengan  harapan-harapan dan manipulasi.    

Kasus demi kasus dengan keputusannya,  tanpa menghadirkan keadilan sebagai tujuan dari hukum kemudian acapkali hukum hanya sebagai alat legitimasi, adalah fenomena hukum ketika dioperasionalkan. Fenomena tersebut, mempertegas bahwa penegakan hukum tidak akan pernah absen dari kepentingan-kepentingan di luar hukum. Hakim dan juga penegak hukum lainnya, adalah aktor utama dalam menjalankan penegakan hukum, ketika para aktor tersebut adalah pribadi-pribadi yang secara budi pekerti menunjukkan kurang (tidak) baik, sebaik apapun hukum dalam pengertian tertulis, maka hukum tersebut tidak akan tertegakkan dengan baik. Kondisi penegak hukum yang demikian, akan mempertegas tesis Marc Galanter dalam Satjipto Raharjo , bahwa “ Legal services are seen as a product to be sold”( pelayanan hukum terlihat seperti produk yang dijual) (Sajtipto Raharjo:2009). Fenomena jual beli  keputusan oleh para aktor berdasarkan pesanan-pesanan dari pihak-pihak tertentu, seolah semakin nyata dengan terbongkarnya kasus konspirasi yang dilakukan oleh beberapa oknum penegak hukum yang sempat ramai diberitakan dalam media.Apa yang telah diasumsikan oleh Brian.Z.Tamanaha tentang hukum, terbukti dengan banyaknya peristiwa penyimpangan oleh penegak hukum itu sendiri.

Penegak Hukum Profetik.

Hukum mengandung norma, maka penegakannya menuntut hadirnya orang-orang yang (mendekati) ideal, tanpa ditegakkan oleh pribadi-pribadi yang berintegritas dengan spirit profetik, maka akan selalu terjadi kesenjangan antara yang seharusnya dan yang senyatanya. Harapan terciptanya keadilan sebagai tujuan utama dari adanya hukum, akan selalu menjadi impian, yang tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam kontek ini, negara hukum hanya sebatas retorika, dan akan terjadi fenomena runtuhnya hukum di negara hukum, karena hukum dipegang dan digerakkan oleh orang-orang yang tidak punya komitmen menciptakan dan menegakkan keadilan dengan hukum.

            Semangat tertinggi dari hukum adalah keteraturan, dan hukum justru akan melahirkan yang sebaliknya apabila orang-orang yang disebut sebagai penegak hukum adalah pribadi yang didominasi oleh nafsu. Hukum hanya akan menjadi instrumen pemuas kepentingan, dengan argumen legal formal dan kepastian hukum, aspek-aspek keadilan yang pada dasarnya merupakan tujuan subtansial dari hukum hanya merupakan utopia dan retorika.Dalam rangka supremasi hukum (the supreme of law) meniscayakan hadirnya penegak hukum dengan standar moral di atas rata-rata, kearah level itu perlu adanya injeksi spirit profetik (spirit kenabian)  bagi para penegak hukum.

            Penegak hukum yang sudah tercerahkan oleh spiritualitas, akan mengoperasionalkan hukum tidak hanya dengan bersandar kepada bunyi teks, yang sering kali berujung hanya pada kepastian hukum. Penegak hukum yang sudah terintegrasi dengan spirit profetik, akan selalu berpikir holistik dan melibatkan aspek-aspek transendental dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum. Teks hukum bukan satu-satunya instrument sebagai alat menyelesaikan masalah hukum akan tetapi kesadaran transidental cukup mendominasi dalam proses. Dengan basis spirit profetik hukum dapat diaplikasikan disertai dengan kedalaman maknanya.

            Melahirkan penegak hukum yang berbasis spirit profetik tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak hanya berharap kepada institusi formal (Fakultas Hukum), karena hingga hari ini kurikulum yang didesain masih terjebak oleh spirit positivistik-dogmatik. Hal demikian, menuntunt hadirnya kurikulum yang didesain dengan formula kombinasi spirit prefetik, sehingga lembaga pendidikan hukum mampu melahirkan calon-calon penegak hukum yang progresif, dengan standart moral di atas rata-rata, yang menurut  Zohar dan Marshall disebut dengan “ultimate intelegence” (kecerdasan sempurna).

            Berbasis kepada spirit profetik, para penegak hukum (Polisi,Jaksa,Hakim dan Lawyer)  tidak akan terjebak oleh situasi dan kepentingan apapun di luar hukum. Orientasi utama dalam mengoperasionalkan hukum adalah dalam rangka keadilan. Spirit profetik, mengajarkan kepada pribadi-probadi termasuk penegak hukum untuk tidak gentar atau takut kepada siapapun kecuali hanya kepada dzat yang menciptakan alam semesta, itulah makna dari irah-irah (kepala) keputusan hakim yang selalu di awali dengan “ Demi keadilan berdasar ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa kalimat itu, maka keputusan akan menjadi batal demi hukum (KUHAP:197:2). Ironisnya kepala putusan (irah-irah) tersebut jarang direnungi dan dihayati secara mendalam, sehingga dalam proses penegakan hukum seringkali mengabaikan prinsip-prinsip digariskan Tuhan, dan cenderung anti-Tuhan.

*Penulis adalah Dosen dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan, Jawa Timur, serta mengajar di SMAU BPPT Al-Fattah lamongan