Oleh : Ki Anshori

Jika masih ada orang dalam ketertindasan, baik tertindas secara ekonomi, Politik, budaya dan hukum, maka janganlah lebih-pasif, teruslah bergerak dan  jangan pernah berhenti untuk melawan rezim penindas. Demikianlah suara menggelegar itu terus terngiang di telingaku hingga kini.

Tatapan mata ki brengos, di sela sruputan kopi paitnya, yang sepait nasibnya itu, menerawang jauh ke belakang, saat-saat dia masih aktif melawan rezim diktator. Sebagai aktivis kala itu, spirit yg terbangun hanya satu, yaitu sebagai penyambung lidah rakyat yg tertindas. Dan atas nama ketertindasan, ki brengos tidak bosanya turun ke jalan.

Tapi hari ini, spirit itu entah kemana? Apa sudah tidak ada penindasan dalam bentuknya yg baru. Pembangkit moral pembelaan terhadap yg tertindas secara berlahan menjadi bagian dari penindas itu sendiri. Ki brengos hari ini dalam kesendirian yg tidak tertarik sama sekali atas tawaran kekuasaan. Jika dia mau, maka akan menjadi orang penting dan berkuasa di negeri atas angin. Tapi cukuplah dia bahagia dengan  kopi pait, nyeruput kopi bersama sama teman-teman jamaah ngopi sembari memelihara idealismenya agar tidak terabrasi oleh gelombang nikmatnya berkuasa.

Hari ini, ketika aroma penindasan mulai menyeruak dengan modusnya yang baru, doktrin pembodohan yang gencar dipublish adalah “atas nama rakyat”, sesungguhnya adalah kamufalse yang sering menghipnotis publik tanpa sadar. Ki brengos,yang sekarang fisiknya semakin renta dimakan usia, rambut sudah berbunga cahaya putih sebagai tanda usia  sudah tidak muda lagi, pandangannya menatap ke depan yang sesekali kilatan-kilatan tajam matanya masih menunjukkan sisa kegarangannya seolah tidak sabar lagi dengan bentuk-bentuk penindasan yang berlangsung. Sambil menghisap asap gudang garam merah kesukaannya sejak kala menjadi aktifis, ia bergumam “apa yang salah dari negara ini? Kopi yang tanpa disadari tinggal menyisakan ampasnya itu, tetap saja diminum sehingga yang didapatkan hanya butiran-butiran kopi yang kemudian dikunyahnya.

Mana idealisme mahasiswa, percuma saja punya label mahasiswa tapi tidak punya kepekaan dan sensitifitas terhadap penindasan yang terjadi. Tampaknya idealisme, masih menuntut untuk ditanamkan ke para generasi muda. Idealisme telah tergadaikan oleh kepentingan pragmatisme. “Krisis idealisme itulah yang terjadi,” kata ki brengos sambil menghela nafasnya yang kadang sesekali batuk.”Berhenti dulu rokoknya!” sahut ki cungkring sahabat setianya yang sudah Cukup lama mendampinginya untuk mendengarkan petuah idealisme ki brengos.

Para filosof Yunani, berani berhadapan dengan kematian yang dihidangkan penguasa karena mencoba mempertahankan idealisme yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Pandangan science berhasil membuktikan secara empiris bahwa bumi bulat, namun tidak mudah diterima begitu saja oleh penguasa waktu itu, saat pandangan yang sudah mapan mengatakan bahwa bumi adalah datar. perbedaan pandangan antara kekuasaan dengan rakyatnya, adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak perlu direspon berlebihan. Pembungkaman idealisme sama halnya dengan pembunuhan idealisme, dan ini akan menjadi sebuah ancaman bagi keberlangsungan kehidupan nalar anak bangsa.

Menurut ki Brengos dalam ajaran idealismenya yang sering dipresentasikan dalam Warung Kopi, bahwa idealisme harus terus ditumbuhkembangkan, lembaga-lembaga pendidikan sudah seharusnya memberikan ruang bagi anak-anak didiknya untuk berlatih membangun berpikir kritis, andai saja saya (ki brengos) menjadi pimpinan satu lembaga pendidikan, maka akan saya kumpulkan murid-muridku, saya akan belajar mendengarkan celoteh-celotehan mereka, mungkin dirasakan perih dan sesak dada mendengarkan kritik-kritik mereka, tapi ndak apa-apa itu adalah sebuah proses penyembuhan luka egoistik, merasa paling tuli dan arogan dalam kepemimpinan.

Tampaknya negara ini sudah Cukup lama tidak memberikan tempat bagi mereka yang berpikir idealisme, atau mereka yang dulu dipandang idealisme tapi hari ini telah luntur oleh nikmatnya kekuasaan. Tempat ki brengos adalah warung kopi yang sejak dulu hingga hari ini masih tolerance dengan logika nakal untuk mengekspresikan idealisme yang tidak menemukan ruang dan tempat untuk turut berkontribusi membuat senyum ibu pertiwi. Terasa sesak dadaku melihat compangcampingya negeriku yang dihuni oleh para makhluk monster penghisap darah.



*Penulis saat ini masih aktif sebagai tenaga pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan. Selain itu, beliau juga mengemban amanat sebagai Dekan di Fakultas Hukum Universitas Billfath. Banyak menulis tentang Esai, Opini, Artikel berbagai tema terutama dengan hal-hal berkaitan dengan dekontruksi pemikiran. Beberapa tulisannya juga pernah tersiar di media massa.