Oleh: Anshori, S.H., S.Ag., M.H.

Formula Hidup berkualitas, dalam refleksi yang penulis lakukan ternyata tidak bisa dirumuskan sebagaimana upaya mencari kesimpulan akhir secara matematik. Andai saja bisa dirumuskan secara matematik, betapa mudahnya untuk mencapai hidup berkualitas.

Lamanya durasi hidup di dunia, bukan suatu jaminan seseorang akan mencapai hidup berkualitas. Kontempelasi akan eksistensi diri kita sebagai manusia, adalah instrument penting yang akan mengantarkan dalam level kesadaran.

Manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna dapat dilihat dari dua segi, fisik dan psikis. Dari segi fisik, susunan anggota tubuh manusia merupakan susunan yang didesain sedemikian rupa sehingga menjadikan manusia sempurna, misal otak adalah bagian tubuh yang paling mulia ditempatkan pada posisi tertinggi, berbeda dengan binatang yang otaknya sama rata dengan punggungnya. Ini salah satu bukti kesempurnaan manusia dibandingkan makhluk lainnya.

Dari segi psikis manusia mampu berfikir, mempertimbangkan, dan menggunakan akalnya dengan baik. Di samping itu, manusia adalah makhluk yang dilengkapi dengan akal dan nafsu. Di dalam diri manusia terdapat potensi baik dan potensi buruk, sifat-sifat Ilahiyah dan sifat-sifat Syaithoniyah, yang kedua sifat ini masih berbentuk bahan mentah yang harus diolah.

Jika sifat Syaithoniyah lebih dominan berkembang, maka akan muncul pribadi yang buruk, jika sifat Ilahiyah dipupuk dan dikembangkan maka akan terlahir pribadi Muslim yang baik, yang sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini berarti manusia membutuhkan pendidikan, pembiasaan dan pembentukan untuk mengembangkan diri dan menjadikannya manusia yang paling sempurna dengan memiliki kepribadian yang hakiki.
Meminjam bahasa Al-Qur’an, bahwa manusia adalah “Ahsanu taqwim”, yang berarti dalam bentuk atau “wadak” yang memiliki pesona sempurna dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Penulis berkeyakinan bahwa makna “ahsan taqwim” alamatnya tidak semata-mata fisik. Jika hanya tertuju secara fisik, maka kesempurnaan atau untuk bisa menjadi sempurna maka rumus matematika bisa dihadirkan dalam proses menjadi sempurna, disinilah letak kompleksitas manusia yang keberadaan dan dinamikanya menuntut hadirnya kontempelasi mendalam, sehingga mampu melihat manusia sebagai kepribadian.

Kepribadian merupakan terjemahan dari personality (bahasa Inggris), sedangkan dalam bahasa latin kepribadian disebut dengan persona yang mempunyai arti kedok atau topeng, yang berarti tutup muka yang biasa dipakai oleh pemain-pemain panggung untuk mengambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang.

Sedangkan menurut Allport sebagaimana yang dikutip oleh H.M Arifin mendefinisikan kepribadian dengan susunan yang dinamis di dalam sistem psikofisik (jasmani-rohani) seseorang atau individu yang menentukan perilaku dan pikiran yang berciri khusus.

Rekontruksi Kesadaran.
Pertanyaan mendasar adalah apakah kita adalah manusia-manusia yang sadar? Dan bagaimana bisa menjadi sadar? Upaya mencari magnit penarik kesadaran adalah suatu keniscayaan agar manusia tidak terjebak dan tenggelam dalam lautan ketidaksadaran. Sisi atau dimensi transcendent untuk mendorong kesadaran menjadi sangat penting untuk diupayakan, agar kita manusia bisa naik ke level puncak kesadaran.

Mencoba menelisik dalam perspektif theologi progresif bahwa semangat keimanan yang terus bergerak menuju kesempurnaan, dengan semangat keimanan yang kuat seseorang dapat bangkit dari ketidaksadaran menuju transformasi kesadaran dan kemuliaan. Dengan daya sadar ini jiwa manusia dapat menentang segala bentuk kemungkaran yang terjadi di dalam dirinya dan di luar dirinya. Karena itulah kesadaran harus tumbuh dalam diri manusia setiap saat.
Mereka yang telah berhasil mengembangkan kesadaran diri, dalam menghadapi tantangan dan tanggung jawab, akan selalu menjadi contoh dan dorongan kepada siapa saja dalam masyarakat untuk bangkit membangun peradaban umat. Dorongan itu tidak pernah lentur walaupun di tengah banyaknya ujian dan cobaan. Maka saatnya kini kita merajut kembali benang yang terurai. Nyalakan api kesadaran yang cahanya memeluk peradaban. Kehangatannya dirasakan oleh orang lain dan sahabat di sekitar.

Namun sesungguhnya cahaya kesadaran itu tidak pernah akan berbinar jika umat ini selalu bertikai tanpa menyadari kekeliruannya. Kegelapan akan terus menyelimuti jiwa-jiwa hampa yang diperbudak dunia. Mata hati telah mati, walau sekedar bertanya kemanakah gerangan perjalanan hidup akan mengarah.

Kesadaran adalah api cinta dan cinta adalah api rindu. Bagi mereka yang merindu Ilahi Rabbi, maka shalat menjadi gerak dan nafas kehidupnnya. Ia akan menghadapi hidup ini dengan tenang sebagaimana tenangnya nurani bersama Allah SWT. Dan dalam hidupnya ia selalu berkata “Oh Tuhanku, betapapun derita sangat akrap menyapa, fitnah menghunjam penuh nanah, jadikanlah hamba tetap kuat menempuh asa. Teguh dan kuat hasrat menempuh perjalanan sisa-sisa hidup yang Engkau anugerahkan.

Akhirnya perenungan hidup kita (mausia) tentang dari mana dan sampai di ujung mana (manusia) akan mengakhiri perjalanan, dapat membangkitkan kembali kesadaran kita yang sudah mulai redup akibat tumpukan salah dan dosa. Kita perkokoh keyakinan melalui misi spiritualitas yang dijemput Nabi Muhammad saw dan yang telah diajarkan ke kita umat manusia.

Hanya dengan tekad demikian kita bisa bangkit kembali menegakkan dan membangun peradaban manusia yang lebih baik di masa depan, sehingga manusia dan peradaban mendatang bisa mencapai kehidupan berkualitas sejati atau kehidupan yang menjadi ekspektasi pencipta kehidupan.

*Penulis adalah guru mata pelajaran PPKn SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Billfath Siman