Oleh : Ki Ans*

Disela minum kopi di salah satu kedai kecil pinggir sawah, aku mendengar dialog petani yang juga sedang menikmati kopi siang itu. Sebuah dialog akar rumput dengan tema nasib petani yang kian tersungkur dan tersudut di tempat yang sekarang tidak pernah disebut-sebut oleh sang pemegang otoritas.

Mendengar dialog sederhana tapi sesungguhnya sangat-sangat subtansial itu, tiba-tiba mengingatkan ku pada sebuah jargon “Revolusi Mental” yang sekarang sudah tidak populer lagi seiring paradoknya dengan realitas di berbagai bidang kehidupan. Tiba-tiba menyeruak suara dari luar majelis kopi, seraya mengusulkan sebuah ide pemberian gelar. “Bagaimana kalau kita tahbiskan gelar The king of paradox atau Mr. Paradok”. Dan tampaknya relevan sekali sebutan itu, tapi apa yang terjadi apabila terdengar oleh kaum pemberita, lebih-lebih di zaman yang sudah tidak ada akses tertutup, wah bisa kena ‘delik’ itu.

Suara-suara lemah tak berdaya, yang selama ini nyaris tak terdengar, lirih dan dianggap alunan musik suara katak di awal musim hujan tiba. Lewat musim hujan suara itu hilang tak terdengar namun hari ini mulai menguat, seolah ada energi pembangkit walaupun tetap saja tidak didengar. Lengkingan suara tak terdengar, semerdu apapun iramanya menjadi tidak berarti bagi telinga-telinga yang tertutup lezat kekuasaan.

Akar rumput adalah metafor dari yang tertindas, terinjak, tersudut dan dianggap tidak penting dalam pentas pesta pora para borjuis berdasi. Bersahaja dan apa adanya adalah istana megah akar rumput meskipun suara nyaris tidak terdengar dan tidak terpublish oleh media, tapi suaranya adalah suara aspirasi perjuangan, suara koreksi dan suara kepedulian.

Dialeka akar rumput meskipun bermediakan warung kopi di gubuk tepi sawah dan tak semegah media para tuan terhormat ketika berdiskusi dengan tema rakyat jelata, adalah dialeka berbobot tentang nasibnya sendiri yang entah kapan akan sedikit terentaskan. “Sampai kapan kita akan dijadikan nyanyian di bawah sajak atas nama?” Suara lantang salah seorang peserta diskusi warkop yang sejak awal sudah tampak api semangatnya sekaligus mengesankan ketidaksabarannya atas situasi dan kondisi yang konon dalam berita-berita akan ada perpanjangan dan lagi-lagi disuarakan atas nama rakyat.

Desiran angin yang masuk disela lobang-lobang kecil warkop membuat suasananya bagaikan ruang VIP ber-AC. Para akar rumput semakin bersemangat menyuarakan gugatan kepada pohon rindang yang tidak sedikitpun memberikan bayangannya untuk berteduh semut-semut yang lagi parade baris berbaris. Akar rumputpun mulai mongering seakan protes untuk diberikan tetesan-tetesan air, hanya sekedar utk mempertahankan hijaunya.

*Penulis salah satu pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan, mengampu Civics Education. Pegiat literasi di komunitas “Jam’iyah Al Qohwah Mbsr”.