Oleh : St Zita hakimatul huwaidah*

Waktu itu, aku masih duduk di bangku SMP, aku mengerti tentang apa itu kejujuran. Pilihan untuk berbohong atau jujur, hal itu yang aku hadapi saat aku melaksanakan ujian sekolah. Saat ujian, teman sekelasku banyak yang mencontek dengan berbagai cara. Ada yang membawa catatan kecil hingga menyembunyikan buku di bawah meja. “Zul, kamu mau nyontek, Gak? Aku bawa contekan, Nih,” bisik Fadil di sebelahku saat ujian berlangsung.
“Wih! Boleh juga,” ucapku dengan mengambil kertas kecil darinya.

Pada saat itu, aku masih belum percaya buah dari sebuah kejujuran. Aku akan mencontek jika menghadapi ujian Matematika, Fisika dan Kimia, karena aku kurang begitu suka dengan angka. Hingga akhirnya pengumuman kenaikan kelas pun tiba, aku dan teman-temanku begitu tegang saat menunggu nilai rapot yang akan diberikan. Rapot sudah kuterima dari wali kelas, beliau mengatakan bahwa aku naik kelas. Namun, saat aku membuka rapot itu, aku melihat nilai pelajaran Matematika, Fisika serta Kimia mendapat nilai yang kurang memuaskan bahkan jauh dari rata-rata.

Saat itu aku merenung, bernostalgia disaat aku ujian dan mencontek di mata pelajaran tersebut, hasilnya malah mendapat nilai buruk. Sedangkan mata pelajaran yang lain, yang aku kerjakan dengan kemampuanku, meraih hasil yang baik. Hal tersebut aku terapkan untuk menghadapi ujian di kelas berikutnya. Ketika ujian nanti, aku niatkan untuk berusaha jujur dalam mengerjakan soal yang diberikan, sesulit apapun. Kali ini materi yang telah kupelajari dan yang diajarkan guruku di kelas semuanya keluar. Tanganku menuliskan jawaban di LJK dengan tenang tanpa suatu keraguan. Hingga akhirnya pelaksanaan ujian pun selesai, kini hanya tinggal menunggu hasilnya.

Hari pembagian rapot pun tiba. Aku kembali tegang dengan hasil yang akan aku dapat nanti. Ibu wali kelas membacakan satu per satu para siswa yang meraih peringkat lima besar paralel hingga tepat pembacaan siswa yang meraih peringkat pertama.
“Siswa yang meraih peringkat pertama adalah…”
Semua siswa begitu tegang menunggu kelanjutan ucapan dari ibu wali kelas tersebut.
“Zulfikar Al Husein,” ucapnya sambil mengarahkan pandangannya padaku.

Aku merasa sangat Bahagia. Dalam hati ada kebanggaan dan kepuasan atas kerja kerasku belajar selama ini, semua ini tidak sia-sia. Semua teman memberi selamat padaku, lalu ibu wali kelas mengatakan padaku bahwa peraih peringkat pertama akan mendapat beasiswa sekolah di SMA. Aku begitu senang mendengarnya. Anggapanku tentang kejujuran itu memang benar, “Jujur itu pasti membawa kebahagiaan walau awalnya itu sulit dilakukan.”

*Penulis adalah siswi kelas X MIPA 1 SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan