Oleh : Anshori, SH., S.Ag., M.H

Profil dan style keseharian Abah Majid, demikian santri-santri Al-Fattah memanggilnya, sudah tidak asing lagi. Suara menggelegar ketika menyampaikan pandangannya terhadap sesuatu yang dipandang serius, adalah kekhasan beliau. Kiprah serta gagasan-gagasannya dalam pengembangan pendidikan di yayasan Al-Fattah, membuat Pondok Pesantren Al-Fattah menjadi diperhitungkan dan memiliki tempat tersendiri di masyarakat. Bila dunia mengenal Sergey Brin (42), Pendiri dan Presiden Alphabet, Larry Ellison (71), Pendiri, Pimpinan Oracle, dan Bill Gates (60), Ketua Pendamping Bill & Melinda Gates Foundation dan masih banyak lagi penggagas-penggagas kelas dunia dengan inovasinya, tidaklah berlebihan bila untuk skala Lamongan dan sekitarnya “Abah Majid” adalah semaqom (level) dengan mereka itu.

Tulisan singkat ini tidak lain, kecuali dimaksudkan untuk mengenang kebaikan-kebaikan almagfurlah sebagai napak tilas kehidupan yang sudah diukir oleh “Abah Majid” sewaktu masih di dunia. Sekalipun penulis tidak tercatat sebagai santrinya (sesungguhnya sangat berharap diakui sebagai santrinya), cukup mengetahui kepribadian almagfurlah, sebagai pengemban amanat yang bijak dan tegas, Abah Majid menunjukkan dedikasinya dalam rangka pertanggung jawabannya.
Gambaran Abah Majid untuk Al-Fattah pada masa-masa yang akan datang, sangat tampak dalam obrolan-obrolan gayeng yang sering kali almagfurlah sampaikan, walaupun tidak secara langsung kepada penulis, karena penulis hanya mendengar, yaitu Al- Fattah akan menjadi lembaga sebesar Harvad University di US. Progresif, itu kata tepat untuk menggambarkan almagfurlah. Istilah ini tampaknya lebih mempengaruhi penulis karena kegagumannya terhadap teori “hukum progresif” yang digagas oleh Prof.Satjipto raharjo.

Gagasan-gagasan almagfurlah sering kali melampaui dari kapasitas lembaga dan sumberdaya manusianya. Gagasan-gagasan yang digulirkan sering kita jadikan sebagai tema dalam diskusi-diskusi kecil secara informal (obrolan) yang kemudian berakhir dengan kesimpulan, “Mestinya harus ada penerjemah yang progresif juga untuk merealisasikan secara teknis gagasan-gagasan yang almagfurlah lahirkan”.

Bagaikan seorang insinyur yang membuat rancang bangun gedung pencakar langit, maka yang dibutuhkan adalah seorang tenaga teknis (tukang) yang memiliki kecakapan handal dan kemahiran bersertifkat, yang mampu menerjamahkan gambar-gambar kontruksi tersebut. Sketsa bangunan itu sudah terhampar di depan altar Al-Fattah, seakan almagfurlah memberikan waktu kepada penerusnya untuk merealisasikan sketsa itu, sehingga menjadi bangunan utuh tempat menggodok lahirnya para generasi bertalenta, yang cakap dan respons terhadap zamannya, dan Al-fattah sebagai sebuah nama di ambil dari pendirinya yaitu almagfurlah KH. Fattah yang notabene adalah Abah dari KH.Abdul Majid Fattah. Di samping memiliki arti “pembuka”, menurut penulis adalah pembuka pintu paradaban pada masa-masa yang akan datang, pembuka arena perjuangan kemanusiaan, pembuka pintu ilmu pengetahuan dan pembuka lahirnya gold generation.

Penulis tidak memiliki data lengkap tentang almagfurlah, mengingat interaksi penulis dengan almagfurlah tidak sedemikian intensif, dan penulis hanyalah guru biasa tidak ubahnya bagaikan titik dengan warna hitamya yang tidak jelas (buram), hanya sekedar turut serta meramaikan keadaan, tapi satu hal yang kadang menjadi alasan penulis disapa oleh al-magfurlah, yaitu karena sama-sama penyuka 234 yang sudah tidak asing bagi kalangan di Al-Fattah, sambil menawarkan selinting kepada penulis, almaghfurlah menyampaikan, “Pak tolong saya dibantu untuk mendirikan Universitas, yang di dalamnya ada fakultas hukum.” Kemudian penulis menjawab, “Njeh…Insya’ Allah Yi…” demikian penulis sering menyebut almagfurlah.

Kalimat tersebut sudah empat tahun berlalu, tapi kalimat tersebut masih sangat jelas terngiang-ngiang di telinga, dan seiring dengan telah menghadapnya almagfurlah kepada Sang Pereka Alam Semesta, maka penulis beranggapan hal tersebut sebagai wasiat, yang meniscayakan untuk dijalankan, dan hal tersebut bagi penulis adalah sebagai sebuah kehormatan, dengan melihat penulis yang sejatinya bukan siapa-siapa, tapi dimasukkan sebagai instrumen-instrumen untuk pelengkap gambar kontruksi bangunan besar itu.

Mencoba mengutip Pramoedya Ananta Toer, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”penulis berkeyakinan bukan kalimat itu yang mendasari keberanian almagfurlah dalam membuat terobosan-terobosan progresif, tapi Kalamullah dan sabda-sabda agung Nabi SAW, yang memberikanya inspirasi, mengingat almagfurlah adalah “Sang Pewaris Nabi”, dan kemungkinan Pramoedya Ananta Toer membaca dari sumber yang sama dengan almagfurlah, bahwa seseorang dalam hidup itu ditantang untuk membuat tradisi-tradisi yang baik, dengan harapan diikuti oleh generasi sesudahnya, yang oleh Pramoedya Ananta Toer diekspresikan dalam bentuk indahnya jalinan kata yang memukau, sementara almagfurlah diekspresikan dalam wujud nyata, yaitu menggagas terbentuknya media yang bisa melahirkan generasi-generasi sholeh yang memiliki skill sesuai tuntutan zamannya.

Universitas Billfath, adalah karya nyata almagfurlah dan “master peace” (adi karya/karya besar) nya, di ujung jalan pengembaraannya di alam fana ini. Langkah-langkah almagfurlah sepanjang tampil dalam pengembaraannya sangat dipastikan memberi arti bagi tumbuhnya tradisi keilmuan, dan peradaban anak manusia. Untuk itu, bagi generasi –generasi muda menjadikannya sebagai role model dan inspirasi adalah suatu keniscayaan.

Waktu ke depan masih sangat panjang, tidak seorangpun mengetahui kapan berakhir. Mataharipun akan terus dengan setianya terbit dari ufuk timur dengan tidak lelahnya menyinari bumi ini. Pasti memberikan kesaksian atas jerih payah siapapun yang berlalu lalang, dan berdarah-darah dalam melakukan penghambaan kepada Sang Kholiq. Bekas-bekas kebaikan yang ditorehkan almagfurlah, diyakini telah saksikan oleh semua makhluk Allah SWT, dan diyakini pula semua bersepakat untuk bersaksi akan kebaikan-kebaikan almagfurlah.

Tulisan yang tidak berarti ini adalah bagian dari kesaksian penulis terhadap kebaikan-kebaikan, wejangan-wejangan berbobot, dan kreasi-kreasi almagfurlah, yang menerobos secara progresif demi kemajuan lembaga yang memproduk sumber daya manusia yang integrative. Akhir dari tulisan tidak berarti ini, agar sedikit menjadi berarti penulis suguhkan kata bijak dari Kahlil Gibran, pujangga dari Amerika kelahiran Lebanon, bahwa “Arti penting manusia bukan terletak pada apa yang dia peroleh, melainkan apa yang sangat ia rindukan untuk diraih”, tampaknya persis dengan gambaran almagfurlah yang belum sempat melihat bangunan utuh dari sketsa kontruksinya, namun beliau telah meninggalkan kita, dan sekarang telah menjadi tanggung jawab kita untuk meneruskan dan mewujudkannya secara utuh.

*Penulis adalah guru Dekan Fakultas Hukum Universitas Billfath Siman dan guru PKn SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan