Oleh : Ki Ilyas*

Aku menghentikan langkahku tepat sebatas mata memandang gubuk tercinta. Ragu, bimbang dan rindu saling mengadu, malu semakin menguasai kalbu, tak pantas aku tuk memasukinya. Terbayang akan penolakan diri dari ibunda, ketika ibunda mengabulkan keinginan hatiku, ternyata yang didamba bertolak belakang, yang menjadi kekuatan hilang tergerus realita kehidupan yang tak pernah terlintas sedikit pun di dalam pikiran.

“Maafkan aku, Maaak,” kataku dalam hati. Lalu kutarik napas panjang, sambil perlahan kukuatkan keyakinan akan kehangatan cinta yang akan menyambutku. Samar-samar terdengar alunan ayat-ayat suci yang semakin menggetarkan hati, melembutkan saraf-saraf sekujur raga, semakin lama semakin jelas mempesona jiwa meluluhkan gejolak hati yang semula membara.

“Assalamualaikum…………”Agak lama belum ada sahutan. “Assalamualaikum…”
“Sodaqallahul ‘adziiiiim………, wa’alaikumussalaaaam…” terdengar jawaban lirih dari dalam gubuk.
Pintu berderit perlahan, di antara keremangan malam, sang ibu mengrenyitkan keningnya, menatap tajam wajah di depannya, sejurus kemudian. “Leeeeeee….???”
“Maaaak…”
Pelukan erat semakin kuat, dua insan hanyut dalam tangis keharuan, melayang terbawa angin kerinduan dan kebahagiaan. Diciuminya keningku penuh rindu dan cinta.
“Alhamdulillah… Yaa Allah….Engkau Maha mengabulkan…,” kata emak sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
“Maafkan aku maaaak…..” tak terasa air mataku sudah membasahi pipiku.
“Ssssttt……lupakanlah….jangan teruskan lagi”.

Pagi yang cerah, sang mentari pun tersenyum mesra menampakkan wajahnya. Terdengar ciutan burung prenjak yang genit bercanda saling bersahutan dengan yang lainnya, menambah hangat mentari yang semakin bergairah. Berdua menikmati kerinduan yang sempat melanglang buana. Begitu terasa suasana indah dan bahagia.
“Maaak….berilah aku pemahaman tentang cinta, agar diriku tak tersesat di belantaranya.
Emak menatapku dengan lembut dan penuh cinta, seringai senyum sayang terlepas dari kedua bibir tuanya.
“leeeee….., Cinta adalah suasana, bukan bayangan, bukan pula wujudnya. Jika yang engkau damba adalah wujud, maka dia akan mudah berubah dan menghilang, jangan itu yang kau cari yang akan membuat hatimu tersiksa. Bukankah yang kamu ingin adalah keabadian dalam cinta….?”
Aku hanya bisa tertunduk

“leeeee……Cinta adalah ciptaan rasa, bukan wujud yang melenakan dan membuat tergila-gila. Cinta ada di dekat dirimu, di dalam hatimu, melekat dalam jaringan jiwamu. Mengapa harus mengharap yang jauh yang menguras peluh. bertafakurlah dalam pelepasan emosi sesaat, dalam hening diri akan engkau temukan yang sesungguhnya. Jangan tertipu dengan fatamorgana yang sesaat. jangan terkurung di negeri harapan semu yang mengharapkan keabadian sejati.

“Leeee…..” Emak memandang lembut rona mataku.
“Cinta itu fitrah, cinta bukan hanya Bahagia, bukan sekedar romantis dan perhatian. Cinta tidak sebatas bersatu. Rasa sakit, pedih, kecewa, penghianatan adalah bagian dari cinta, jika Kau ambil sebagian saja, jangan harap akan pernah merasakan nikmatnya cinta.”

Aku memandang lekat ibuku, ada gelombang yang merambat ke kedalaman sanubari, seakan ingin menghancurkan karang-karang perkasa yang mendangkalkan pemahamanku, tatapan yang menerawang seolah menemukan titik persinggahan keteguhan baru.

“Leeee….”
“Nggeh, Maaak….” Sahutku dengan lembut penuh malu. “Ciptakanlah ‘Rasa’ itu. Kemanapun engkau memandang, di manapun engkau berada, engkau akan selalu bersama Cinta.”
“Tapi……”aku memotong pembicaraan Emak “Apakah semudah itu, Maaak…?
“Sangat…..sangat…….sangat … tidak mudah, bagi mereka yang ditinggalkan keyakinannya, dan terbuai malas dalam menjalani proses usahanya.” Emak menatap penuh meyakinkan.
“Emak pernah muda, memang tak mudah menghapus jejak yang sudah mengukir kuat penuh keyakinan, ubahlah arah sudut pandang dalam menyikapi suatu permasalahan.”

“Maksud emaaak…?”
“Ketika kepedihan merambah rasa, jangan kau ambil persepsi karena hati dia yang salah, kemungkinan kecil kita mampu mengubah hati itu untuk kembali seperti dalam asa. Keyakinan diri itu kuncinya, Ketika rasa cinta dan bahagia ada dalam diri seseorang dan karena seseorang. Terlalu berat untuk memiliki rasa keduanya. Karena ketika orang itu pergi menjauh, dia akan membawa serta cinta dan bahagianya, dan kita akan kehilangannya. Yang lebih bijaksana menuju apa yang kita harapkan adalah mengubah, membentuk dan mencipta yang ada di dalam diri.

Aku tertegun lalu meneguk secangkir kopi hangat sambil menerawang jauh entah ke mana.
“Leeeee……..Kita hanya punya sedikit cinta yang kita pinjam dariNya. Penyadaran jiwa dan keluasan samudera hati yang tak memiliki penuh akan cinta adalah awal perjuangan. jangan terenggut sebelum melahirkan makna dan jangan sampai lepas di perbatasan sebelum menjelmakan bahagia.”
“Leeee……..Karena cinta kita dariNya, dan hanya untukNya, maka cintailah yang kita cinta hanya karenaNya. Rasakanlah hadirNya. Maka tak akan menyesal meski ada yang hilang, tak akan murka walau hati ada rindu, tak akan sakit walau cintanya pergi, Karena sudah ada cintaNya yang selalu mengisi di setiap tarikan napas dalam janji di keabadian kasihNya. Itulah jiwa yang tak berharap memiliki cinta, namun dia selalu terpenuhi oleh cinta.”

Aku merenung dalam kata-kata indah pelipur lara, walau masih harus mengolah, bayang-bayang hati yang mulai mendekap keyakinan dan segenggam mutiara itu telah membuka hati yang terkunci di ruang kembaranya sendiri. “Walau aku merasa sempat tersakiti, bukan karenamu tapi akulah yang belum memahami lembaran-lembaran cinta yang sesungguhnya. Terima kasih pujaanku, engkau telah melukis bermacam-macam warna di kanvas jiwaku, sampai aku mengerti akan makna-maknanya.” Hmmmmm………aku tersentak mendengar kata hatiku, yang terasa semakin lapang, luas, bebas tanpa batas.

*Penulis adalah guru Matematika SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan. Pegiat literasi di Majelis Sastra Al Qohwah.