Oleh : Ki JD

Pagi setengah siang itu, Bejo lagi ngroweng sendiri. Pasalnya, pak RT Kampung Simbu’an memberlakukan sebuah aturan yang dinilainya sebagai hil yang mustahal dan cenderung tidak berpihak pada kawula alit seperti dirinya.

“Masak semua warga kampung wajib beli dan memasang closed di kamar mandi masing-masing?” gerutu Bejo sambil ngarit godong lamtoro di pekarangan rumah suwung wak Kaji Slamet untuk pakan kambing semata wayangnya. “Dasar RT ndak tahu kahanan…”

Sriiiit…..ciiit…suara rem Onthel berderit yang sebenarnya lebih mirip jeritan tikus kejepit.
“Lagi wiridan ya, Jo?” sahut seseorang pengendara onthel dari arah jalan.
“Wiridan ndasem, ini lagi nyanyi,” gerutu Bejo dengan wajah yang nyaris seperti kardus lungset.
“Ndak kurang banter ta Jo ngrowengnya, sekalian pakai spiker langgar kampung biar menjadi spiral,” canda Waras.

“Hasssem kowe Ras, ngenyek opo etrex-etrex. Ini saya ndak butuh viral atau spiral, karena kebanyakan yang seperti itu cuma buat sensasi doang. Isinya…kotong mlompong.”
“Lha gimana, pagi-pagi tak dengarkan dari radius 10 meter kok kedengaran klosad-klosed, saknjane ada apa ta, Jo?”.

“Stooop…” Bejo memberi isyarat persis seperti pak polisi (tidur) yang menyetop pengendara motor tak ber-helm. “Tak rampungkan dulu tugasku ini, lima menit lagi kita meeting di warung Mbok Sri,” terang Bejo tegas.
“Halah, gayane kayak pejabat teras wae. Oke tak tunggu di warkop Suket Teki ya, Jo”. jawab Waras sambil mancal kembali onthelnya.

Setelah 5 menit lebih 17 detik…
“Sudah saya pesankan Jo, kopi paet kan? Monggo, kebetulan ini rondho royalnya juga masih hot-hotnya.”
“Suwun Ras,” jawab Bejo singkat saja.
“Gimana tadi masalah klosednya, Jo?”
“Tak nyruput kopiku dulu Ras, ben gak salah paham.” Segera Bejo meminum kopi kesukaannya itu dan memakan Rondho Royal yang sedari tadi menggoda seleranya. “Singkat cerita, Ras, pak RT si Mukiyo, mewajibkan warganya punya klosed di jedingnya masing-masing, apa ndak hegemoni itu?”.

“Lho, hegemoni gimana to kang, lha itu kan aturan yang baik, kalau semua warga punya klosed tujuannya adalah mendukung upaya pemerintah dalam bidang kesehatan penduduk. Penyakit-penyakit ndak gampang menyerang karena notabene penanggulangan penyakit yang bersarang di kotoran bisa terminimalisir. Sekarang sudah ndak jamannya model jamban Jo, selain menjadikan lingkungan sekitar kurang baik karena masalah baunya yang aduhai, juga karena kurang tertutup sehingga menyebabkan banyak penyakit menyerang warga. Lha terus masalahnya di mana Jo?”
Bejo tersenyum sinis sambil mulutnya terus menyelep Rondho Royal. Ia sengaja memberi jeda sejenak.

“Piye Jo argumentasiku tadi? Coba jawab!” Waras menimpali lagi.
“Duhai Waras, sahabat kentalku yang baik hati dan suka mendreng, tak beritahu ya, kamu itu ndak ngerti duduk persoalannya”.
“Maksudnya, Jo?”
“Aturan itu tak akui pancen jempol pol polan. I like that, do you know? selain untuk alasan kesehatan juga untuk mengangkat nama kampung Simbu’an kita tercinta ini harum di tingkat kecamatan. Tape eh tapi…”
“Kok ada tapinya, Jo?”
“Kamu ngerti ndak berapa persen warga kampung yang belum mempunyai klosed. Hampir lebih dari 50%. Na ngerti ndak kamu alasannya?”.
Waras menggelengkan kepalanya.

“Para warga kampung ini, jangankan klosed, jamban saja ndak punya, mereka lebih suka berak di kali-kali atau bengawan, selain lebih bebas tak terikat juga karena jeding alias kamar mandi yang layak saja, para warga belum punya. Kita tahu sendiri tingkat ekonomi mereka berada di level sepertiga dari tengah ndlosor ke bawah. Buat makan sehari-hari saja kurang-kurang. sekarang diwajibkan beli klosed, mau ditaruh di mana? Ruang tamu ta? Mikirrrr !!!” Ujar Bejo berapi-api sambil menirukan gaya Cak Long Tong di tipi-tipi.

*Penulis adalah cantrik di padepokan sastra “Sekar Sonya”. Pegiat diskusi dekontruksi kahanan “Jam’iyah Al Qohwah”.