Oleh : Ki JD

Setelah sekian lama merundung diri dalam ruang senyap sendiri, meneruskan lakon yang belum usai. Dalam suatu perjalanan, terbesit sebuah keinginan untuk sekadar ngolah pikir bareng para panakawan. Gayung bersambut. Di pagi setengah siang, ada warta kalau cak Petruk juga sedang mencari rewang untuk sekedar brainstorming, mentashih ide-ide gila menanggulangi paceklik kerjaan berkepanjangan.

“Lha, selama ini cak Petruk kerja apa?” tanyaku sambil nyeruput kopi hitam wadah cangkir.
“Sembarang, yang penting dapur ngepul, biaya sekolah anak terpenuhi. Intinya kan itu.”
Cak Petruk memang easy going. Menurutnya, Sejudek-judeknya masalah, pasti ada celah solusi. Jika hanya dipikir, toh tidak akan selesai. Besar kecil tarafnya sama. Semuanya butuh solusi.
“Jalani saja, kita kan hanya wayang. Obah sak obah opo jare dalang, rak ngono tho,” ujarnya sambil terkekeh mengisap kretek kondangan.

Udud belum habis sebatang, datanglah cak Bagong, di antara panakawan yang paling mirip dengan mbah semar. Berbeda dengan cak Petruk yang orangnya selalu slengean bin cengengesan, cak Bagong hari ini terlihat serius, wajahnya sangar seperti mau menelan orang. Dikeluarkannya bungkus rokok cap Djamboe Bol dari saku bajunya yang mirip seragam pengairan.

“Eh, ladhalah, peno ngudud maneh, Gong? Katanya sudah pamit undur diri?” Cak Petruk nyamber. Ya, nyamber rokoknya juga.
“Lagi pusing, Gong,” jawab cak Bagong besengut.
Cak Bagong pun bercerita panjang kali lebar kali tinggi tentang problematika yang sedang menyatroninya.

Belum usai cerita cak Bagong dengan lakonnya, cak Petruk nyletuk lagi.
“Hm…ini kayaknya ada yang salah, Gong!” ucapnya serius, gayanya gak mbetahi, kayak filsuf di album photo kenangan.
“Maksudnya, Truk? Kalau ngomong yang jelas”.
“Begini lho, Gong, orang hidup itu pasti ada rumusnya. Ibarat orang jalan, jika tidak mau komet dan selamat, ya ada prasyaratnya. Pertama, jalanmu harus hati-hati, selalu di tepi kiri, tengok kanan kiri kalau mau belok atau nyabrang. Jangan lupa, pastikan, alamat yang dituju tidak keliru…”
“Wah, ilmu baru ini, trus gimana lanjutannya, Cak?” Aku menyela.
“Angen-angen, intropeksi diri, aku saja kalau pas lagi karambol kok kolah-kalah, pasti tak pikir, jangan-jangan wetonku gak cocok di bidang karambol…”
Cak petruk belum selesai ngomong, tercium bau sandal terbakar.
“Huasssemmm….sandalku iku, Gong…”

Pinggir Mbawan, 9 Oktober ’21

*Penulis adalah cantrik dan pegiat diskusi literasi dekontruksi kahanan “Jam’iyah Al Qohwah”.