Oleh : Syahidatul Khoiriyah*

“Faw, mana? lihat buku catatanmu!” Pertanyaan yang selalu terdengar di depan meja makan sebelum sarapan pagi membuatku tidak nafsu lagi melahap makanan yang sudah tersaji. Buku catatan yang sekarang masih mulus tanpa goresan tinta sedikitpun, memang sengaja, aku tak ingin menuliskan walau sepatah kata pun di buku itu. Aku tidak suka menulis dan aku tidak mau dipaksa terus menerus.
Keterpaksaan membuat pekerjaan hanya menjadi sebuah beban, bukan rasa cinta yang tumbuh dari dalam. Jadi apalah arti karyaku jika lahir dari keterpaksaan. Biarlah, yang ingin jadi penulis menulislah selalu, tapi tidak untuk aku.

Menjadi penulis itu panggilan jiwa, bukan karena paksaan untuk meneruskan kemampuan orang tuanya meskipun yang telah mendunia. Toh, kemampuan setiap orang juga berbeda beda. Mungkin aku bisa terbang menggunakan sayap kesuksesanku dengan caraku sendiri. Tidak seperti seorang penulis yang hanya melamun mencari imajinasi untuk dituliskan dan diceritakan.

“Faw, sampai segitunya kamu tidak mau menuruti kemauan papa! kamu tidak mau menjawab pertanyaan papa, tidak mau melakukan yang papa suruh sampai sekarang. Kamu mau jadi apa? Ingat ya Faw, kamu bukan anak raja, juga bukan anak ulama’ besar, maka kamu menulislah, Nak! Papa hanya ingin kamu menulis, dan menulis. Menulis pun gampang, hanya menorehkan tinta di atas kertas pun sudah menjadi karya tulisan, apa susahnya?” seru Papanya
Fawas.

“Pa, Fawas ngerti, tapi Fawas belum siap, Pa!”.

“Kalau begitu, temui papa besok pukul 10.00 pagi di Rumah Makan Klutik yang baru buka, kamu tahu ,Kan? Papa juga akan mengajak kakak perempuanmu,”. Lanjut papa nya.
“Iya, Pa,” sahut Fawas.

Fawas bergegas meninggalkan ruang keluarga dan menuju ke kamar yang dirasa tempat ternyaman, tempat yang setiap hari menjadi saksi bahwa dia sering sekali mengobrol sambil emosi tentang dirinya yang tidak mau menjadi seorang penulis. Untung Fawas bisa menahan dan mengendalikan marah dalam kondisi dan situasi apapun.

Fawas memang mempunyai pendirian yang sangat kuat, kalau dia tidak mau ya tidak mau, tetapi Fawas merupakan seorang yang sangat baik hati. Fawas juga cukup famous di antara teman-temannya.
Tepat pukul 10.00 pagi Fawas sudah berada di Rumah Makan Klutik. Segera ia mencari tempat yang paling nyaman untuk nanti bertemu dengan Papanya agar suasana tetap tenang. Fawas cukup waktu untuk sedikit beristirahat dengan menyelonjorkan kakinya dan menyandarkan punggung di kursi warung. Tak lama kemudian, Papa dan kakak perempuannya yang cantik, datang dan segera menghampiri Fawas.
“Sudah lama?”

“Baru sebentar kok, Pa,” lanjut Fawas. Setelah berbasa-basi dengan Papa dan kakaknya, akhirnya Fawas menceritakan alasan mengapa selama ini belum bisa memenuhi permintaan papanya.

“Begini, Pa, dari dulu memang Fawas sudah mendengarkan omongan papa yang menyuruh Fawas menulis setiap hari walaupun itu sedikit, tetapi Fawas tidak mau melakukannya sebab Fawas tidak suka menulis dan Fawas tidak mau menjadi seorang penulis. Toh kemampuan Fawas sepertinya tidak di bidang penulisan. Fawas ingin terbang menggunakan sayap kesuksesan menjadi seorang pengusaha yang sukses, Fawas dari kecil membayangkan mempunyai cita-cita menjadi seorang pengusaha, memiliki bisnis banyak di sana-sini. Dan ini, Pa, tempat ini tempat yang kita duduki ini, rumah makan ini milikku dan sudah pula diresmikan bulan kemarin.”

“Maaf, Pa, memang aku sengaja tidak bilang ke siapa-siapa terutama ke Papa, karena Papa tidak mungkin setuju atas kemauanku di bidang usaha. Memang tempat ini tidak terlalu besar tapi ini akan cukup untuk memulai Wirausaha bersama dengan tim-tim hebat.”

Papa Fawas hanya diam dan sedikit bingung apa yang dimaksud dengan omongan Fawas tadi. Kakak perempuannya kini berbicara pada Fawas.

“Begini ya Fawas, memang setiap orang mempunyai kemampuan berbeda-beda, tetapi kamu seharusnya ikuti kemauan Papa, kamu bisa melakukannya kok dengan cara yang sering Papa ajarkan sejak kecil. Menulis setiap hari walaupun sedikit. Suatu saat akan sangat bermanfaat,” ujar Kakak Fawas berapi-api.

“Tidak, Kak, Fawas tetap memilih menjadi seorang pengusaha sukses, bukan penulis.” “Fawas, Papa akan tetap menyuruhmu untuk menulis di manapun dan kapanpun, pasti
itu, Mau siapa lagi yang nerusin karir Papa,” Terang Papanya dengan sangat tegas.

Setelah semuanya terdiam, Papa nya menggandeng kakak perempuannya untuk pergi meninggalkan tempat itu, padahal Papa dan kakaknya belum sempat meminum minuman yang sudah dipesan tadi, Fawas bingung, campur aduk perasaannya, tetapi Fawas tetap pada pendiriannya yaitu tetap ingin menjadi pengusaha sukses dan tidak ingin menjadi seorang penulis.
Selama dua hari, Fawas tidak pulang ke rumah tetapi memilih untuk menghabiskan waktunya berada di hotel samping rumah makan miliknya. Semua keluarga di rumah khawatir dengan keadaan Fawas. Namun Papanya sangat optimis.

“Mungkin Fawas sekarang sedang memikirkan keputusannya untuk memilih menjadi seorang penulis,” jawab Papa nya untuk menenangkan suasana.
“Gruuuuug, gruuug….” Suara yang keluar dari mulut Papa Fawas. Ia segera menutup mulutnya agar tidak menular pada siapapun.
“Sekarang keadaan Papa kurang enak badan, jadi Papa mau istirahat ke kamar dulu,” ujar Papa sembari berjalan menuju ke kamar untuk istirahat.

***

Sore ini, kakak perempuannya tidak melihat Papanya keluar rumah, biasanya sudah berada di teras menikmati secangkir kopi. Kakak perempuannya segera bergegas menuju kamar Papanya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dan tidak pernah dibayangkan, terjadi. Papanya demam tinggi, kakinya dingin, wajahnya juga pucat kelabu, lemas tidak bisa apa-apa.
Kakaknya mencoba menghubungi Fawas tetapi nomernya tidak bisa dihubungi. Papa nya terus terusan memanggil nama Fawas. Kakak perempuannya tidak tega melihat Papanya. Ia segera mengajak suaminya untuk mencari adiknya.

Hujan deras campur angin tetap dia tempuh untuk mencari Fawas, demi Papanya. Fawas yang hanya bisa memandangi hujan memiliki perasaan yang campur aduk, dia merasakan kegelisahan tetapi dia bingung atas kegelisahan itu, tiba-tiba dia keingat rumah, dia berpikir apakah aku pulang? Hatinya memang menginginkan pulang tetapi pikirannya menjadi kompor untuk tidak pulang ke rumah. Dia hanya termenung memikirkan itu, suara nada dering teleponnya yang membubarkan isi lamunannya.
Wahyu, teman kantornya menelepon Fawas yang hanya menanyakan kabar dan menyarankan untuk pulang.

“Mending kamu pulang aja deh, mungkin kamu bisa istirahat sejenak dan mendapatkan semangat baru untuk besok pergi ke kantor.”
Saran Wahyu yang diterima dengan baik oleh Fawas, Fawas pun segera melaju santai mengendarai mobil sambil mendengarkan musik yang iramanya tenang. Di tengah perjalanan, kakak perempuannya menemukan mobil Fawas yang melaju berlawanan arah dengannya. Kakak perempuannya segera menyuruh suaminya untuk segera balik arah untuk mengejar mobil Fawas. Kakak perempuannya segera turun menghampiri Fawas dan memberi tahu bahwa Papa sedang sakit dan memanggil nama Fawas terus. Tanpa banyak bicara, mereka pun pulang.

Sesampai di rumah, mereka bertiga langsung menuju ke kamar Papa nya. Fawas kaget melihat kondisi Papanya. Fawas memeluk Papa nya dengan sangat erat.
“Ingat semua pesan Papa ya, Faw,” ucap Papa Fawas lirih sambil tersenyum.Ternyata pesan itu merupakan pesan terakhir dari Papa untuk Fawas. Seisi rumah menangis melihat Papa yang terakhir kali setelah menghembuskan nafas terakhirnya.

***

18 bulan kemudian,

Fawas telah sukses menjadi seorang pengusaha, juga penulis. Fawas setiap hari menulis di tempat makan yang dulu ia benci. Semuanya demi permintaan terakhir Papanya. Fawas sangat merasakan perbedaan ada dan tidaknya seorang Papa. Fawas baru merasakan bahwa menuruti semua yang diperintahkan orang tuanya itu ternyata membawa hikmah tersendiri. Ia menyakini, di balik kesuksesan yang dimilikinya, pastilah karena berkat do’a dari kedua orang tuanya. Ia hampir terlupa jika tidak diingatkan oleh sang istri, bahwa besok harus menghadiri undangan sebuah acara yang prestisius. Anugerah Sutasoma, sebuah anugerah yang dihelat oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur untuk para pegiat sastra terbaik. Fawas meneteskan embun di matanya, “Semua kan kupersembahkan untukmu, Papa,” Gumamnya.

Lamongan, 24 Oktober 2021

Tentang Penulis :

Namanya SYAHIDATUL KHOIRIYAH kerap disapa dengan mbak syahida, Ia dilahirkan di Lamongan, 23 Maret 2005. Pernah belajar di Smp Bp Simanjaya (2020) dan ia sekarang sedang belajar di SMA UNGGULAN BPPT ALFATTAH LAMONGAN serta tinggal di Ponpes Al Fattah 2 bersama teman – temannya. Ia adalah orang yang tetap setia berusaha untuk tersenyum walau di kondisi dan situasi apapun,semoga ia bisa Istiqomah selalu. aamiin.