Oleh : Ki JD

Malam hanya sepintas datang, itulah mengapa sangat eman untuk dilewatkan hanya dengan tidur. Dalam pemahaman pelbagai keyakinan, malam selalu saja memiliki tempat tersendiri untuk dimaknai lebih dari sekadar tetenger waktu.
Para orang tua dulu, dengan segala pengetahuannya yang arif serta dilambari kawaskitan, dalam proses panggulowentah anak cucunya, tak pernah sekalipun memberi pitungkas betapa malam memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh alur waktu lainnya.

Saya jadi teringat sebuah tembang macapat pupuh Asmaradhana yang pernah diajarkan oleh para sesepuh. Ada satu bait yang dengan gamblangnya menuliskan tentang keistimewaan wong kang melek.

Aja turu sore kaki,
Ana dewa nganglang jagad,
Nyangking bokor kencanane,
Isine donga tetulak,
Sandhang kalawan pangan,
Yaiku bageanipun wong melek sabar narima.

Terjemahan bebasnya demikian,
Jangan tidur (terlalu) sore
Ada dewa mengitari (di atas) bumi
Membawa wadah emasnya
Isinya doa tolak bala’
(Juga) rejeki sandhang pangan
Yaitu bagiannya orang yang terjaga dan sabar menerima (taqdir)

Ada analogi sederhana untuk mengaitkan antara orang melek dengan rejeki. Saya pernah mendengarnya dari Emak yang beliau juga pernah mendengarnya dari pak Yai (si Mbah).
“Wong nek turu kesoren yo ra bakal oman berkat.”
Tidak hanya tentang rejeki, bahkan seringkali kita mendengar unen-unen, “Sak saktine wong luwe, ijek kalah sakti karo wong melek.”
Nah, lalu terbit tanya. Melek yang bagaimana? Yen gur melek biasa, tentu yang paling sakti adalah tukang ronda, bakul kopi, dan wong ngemit pinian.
Melek yang dimaksud tembang di atas, tentu saja jiwa raga yang terjaga untuk selalu “manembah ing Gusti kang murbeing dumadi. Ati manunggal kelawan lathi uga pakarti. Pinindha satriya pinandhita.” Orang-orang seperti inilah yang melambari segala lelakunya kanthi sabar narima sedaya pepastining lakon.
Semoga kita semua termasuk orang yang ahli melek. Melek mripat, ati, lan fikiran. Nuwun…

Giri Kedhaton, 11 10 21
Tabuh tumuju lingsir wengi