Oleh : Brilliana Ramadhani Zahrah

Seperti biasa, minggu pagi ini aku membantu ibu mengantarkan kue-kue buatanya ke beberapa warung. Aku selalu menemani ibu di sela-sela hari libur sekolah. Sudah menjadi rutinitas ibu setelah sepeninggal bapak, ia harus banting tulang mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Setelah banyak warung yang kami lalui kami bergegas pulang. Cuaca siang ini sangat panas, tak kuasa aku melihat keringat ibu bercucuran menggambarkan rasa letih yang sama sekali tak dirasakannya. “Kapan aku bisa membalas semua jasa Ibu?” ucapku dalam hati.

Sesampainya di rumah aku merebahkan tubuhku di atas tikar, menatap atap genteng yang kian usang dan mengingat kenangan bersama bapak dulu. “Bapak, mungkin jika engkau masih hidup, hidup kami tidak akan sesulit ini.” Fikiranku berandai tak tentu arah, lantas aku sadar yang aku katakan tidaklah baik. Semua ini adalah takdir yang sudah Allah tetapkan. Aku menggeleng dan beristighfar.
“Ais…” panggil ibu mengagetkanku. Aku menoleh kepadanya.
“Iya bu.”
”Lekaslah mandi, sholat dan makan, Nak, setelah itu segera beristirahat, Ya,” ucap ibu padaku.
“Baik, Bu,” sahutku.

***

Aku terbangun dari tidur siangku dan segera mencari ibu.
“Bu…”
Tidak ada sahutan. Aku mencari ibu di sekeliling rumah dan terus memanggilnya, entah mengapa jika terbangun dari tidur dan tidak melihat ibu aku merasa khawatir. Ternyata ibu sedang mempersiapkan sabit untuk dibawa ke sawah. lega rasanya melihat ibu baik-baik saja.
“Ibu…” panggilku dengan tersenyum dan berjalan mendekatinya.
“Ada apa, Nak, bangun-bangun sudah teriak-teriak,”jawab ibu.
“Aku mencari ibu dari tadi, ternyata ibu di sini. Membuatku takut saja,”
Ibu tertawa mendengar penjelasanku.
“Dari tadi ibu di sini, Nak, menyiapkan peralatan untuk dibawa ke sawah, memangnya kamu takut ibu kenapa? diculik orang?” terang ibu sambil tersenyum.
“Ih, Ibu”.

Sore ini kami akan pergi ke sawah, ibu dengan peralatan bertanamnya dan aku dengan buku tulis kesayanganku. Di dalam buku ini banyak sekali cerita pengalaman yang aku alami, aku selalu menulisnya dalam buku, karena bagiku pengalaman adalah moment berharga yang tidak boleh terlupakan. Sesampai di sawah aku membantu ibu mencabuti rumput sembari mengamati tetumbuhan dan binatang-binatang seperti capung, yuyu, belut dan lain-lain. Kuamati gerak belut yang mirip seperti ular, sekilas terkesan menjijikkan namun bagi anak desa sepertiku, belut amatlah bermanfaat. Aku segera menangkap dan menunjukkanya pada ibu.

“Bu, lihatlah! aku menemukan belut, pasti enak kalo dimasak apalagi dibuat bakso nyam-nyam enak,”kataku. Ibu yang melihatku hanya bisa tersenyum mendengar ucapanku.
“Ada-ada saja kau ini, Ais, digoreng saja sudah lebih dari cukup.”
“Tapi dibuat bakso pasti jauh lebih enak, Bu, bakso dari daging belut”
“Sudah-sudah, Ais, ayo bantu ibu lagi,” seru ibu.
“Hehehe iya, Bu”jawabku.

Saat hari sudah mulai petang, dan burung-burung telah kembali ke sarangnya, aku dan ibu memutuskan pulang. “Senja sore ini sangat indah,” batinku. Aku tersenyum memikirkan enaknya makan malam nanti dengan belut goreng hasil tangkapanku tadi. Suara adzan berkumandang setiba aku di rumah. Aku lekas mandi dan sholat jamaah magrib bersama ibu. Selesai sholat, ibu mengajakku makan. Aku sangat lahap menyantap suap demi suap nasiku. Masakan ibu benar-benar enak.
“Ais…”panggil ibu disela-sela makanku.
“Iya, Bu…”jawabku.
“Sebentar lagi kau akan lulus sekolah, Nak, belajarlah sungguh-sungguh. Ibu akan berusaha mencari uang tambahan untuk biaya kuliahmu nanti”.

Mendengar hal itu membuatku sedih, sebenarnya kuliah bukan lagi tujuan utamaku saat ini, meskipun aku tahu akan banyak mimpi yang akan terpendam jika aku memutuskan tidak kuliah. Namun bagiku membantu ibu di rumah jauh lebih penting, apalagi usia ibu yang sudah tidak mudah lagi. Aku sudah memikirkan hal ini sejak lama, aku akan mencari pekerjaan setelah lulus nanti agar ibu tidak perlu capek-capek bekerja.
“Tidak perlu, Bu, Ais tidak ingin kuliah, Ais ingin menemani dan membantu ibu di rumah saja, Ais tidak ingin melihat ibu banting tulang hanya untuk membiayai Ais kuliah,” ucapku lirih.
“Tidak, Ais, kamu harus kuliah, cukup ibu yang kehilangan mimpi ibu dulu, kamu jangan, masa depan ada di tanganmu, ibu percaya akan ada jalan yang Allah beri bagi hambanya yang berusaha,” jawab ibu dengan wajah yang sangat yakin. Aku hanya menundukkan wajah.

***

Pekan ini sekolah dihebohkan dengan berbagai prestasi siswa yang kian melesat baik di bidang akademis maupun non akademis. Aku merasa malu dengan posisiku yang sama sekali tak membawa perubahan. Aku ingin mengharumkan nama sekolah atas keberhasilanku, tapi apa daya, bakat satu pun tak kumiliki. Aku duduk di samping kerumunan siswa yang bersorak karena satu persatu nama dari teman dekat mereka dipanggil ke panggung untuk diberi apresiasi dari sekolah atas prestasinya.

“ji double o di ji o bi!!! good job…good job oy! good job…good job oy!”teriak salah satu siswa memimpin sorakan disertai gemuruh tepuk tangan yang meramaikan aula. Setelah satu persatu dari siswa yang mendapat prestasi dipanggil, bu Lastri mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada siswa-siswi yang telah mengharumkan nama sekolah.
“Teruslah semangat anak-anakku, asah bakatmu tunjukkan prestasimu, jangan pernah menyerah saat kau mengalami kegagalan, keberhasilan bukan milik orang yang pintar saja, namun keberhasilan adalah milik siapa yang senantiasa berusaha,”ucap bu Lastri. Mendengar ucapan bu Lastri siswa-siswi kembali bersorak mengobarkan semangat.
“Mohon perhatianya sebentar, pak guru akan memberikan informasi tentang lomba karya ilmiah yang akan diadakan di salah satu universitas ternama di Indonesia, barangkali ada salah satu dari kalian yang berminat untuk ikut, silahkan melihat juknis perlombaan di pamflet yang akan pak guru tempel di mading sekolah setelah ini,” terang pak Andi.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku segera menuju ke mading untuk melihat pamflet yang tadi pak Andi infokan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. “karya ilmiah adalah salah satu jalan yang bisa membuatku berprestasi seperti mereka,”pikirku.

Sesampai di depan madding, aku membaca satu persatu persyaratan dan tema yang dimuat dalam lomba, mulai kesehatan, pangan, teknologi, pendidikan dan lain-lain. Aku sempat berpikir karya apa yang akan aku buat dalam lomba ini sembari menyusuri jalan setapak menuju rumah. Aku teringat dengan ucapanku pada ibu minggu lalu saat aku menemukan belut. Aku lantas menemukan ide. “Iya…! Aku akan membuat bakso dari daging belut,”batinku. Aku tersenyum sepanjang jalan membayangkan saat nanti aku naik ke panggung dan mendapat apresiasi seperti teman-teman lainya, “Duhh betapa senangnya,” ucapku.

***

Satu bulan berlalu, aku telah menyelesaikan makalah atas bimbingan pak Teguh. Pak teguh juga yang menemani serta mengarahkan saat proses pembuatan bakso. Alhamdulillah, bakso belut yang kubuat berhasil dan memiliki cita rasa yang enak dan sehat untuk tubuh. Makalah ini akan segera aku kirim karena satu minggu lagi sudah batas waktu pengumpulan. Aku berharap penuh semoga perjuangan kerasku selama ini mendapatkan hasil dan bisa membanggakan ibu.
“Ibu, Ais minta doanya, Ya, semoga karya Ais bisa masuk babak final,”ucapku pada ibu.
“Do’a ibu akan selalu menyertaimu, Nak,”jawab ibu.
“Terimakasih, Bu”.

Tiga minggu kemudian, pengumuman hasil seleksi telah dibagikan. Aku segera melihat daftar namaku di link yang tertera di bio instagram kampus penyelenggara. Alhamdulillah, aku masuk babak final, semua ini tak lain karena kehendakMu ya…Allah. Aku mengucap syukur berkali-kali. Tak sabar rasanya memberi tahu kabar gembira ini kepada ibu.
“Alhamdulillah, Bu, karya Ais masuk babak final, Ais senang sekali,”ucapku.
“Alhamdulillah, semoga kamu mendapat juara 1, Nak,”jawab ibu.
“Aamiin, Bu”.

***

Hari ini adalah hari yang menegangkan. Aku baru saja presentasi mengenai penelitianku di hadapan para juri. Mereka bertanya tentang alasan mengapa aku memilih ide ini, apa saja kandungan dan manfaat daging belut bagi kesehatan dan lain sebagainya. Alhamdulillah aku bisa menjawab satu persatu pertanyaan yang mereka ajukan, karena jauh-jauh hari aku sudah mempelajarinya bersama pak Teguh. Pengumuman juara akan diumumkan satu minggu lagi. Apapun hasilnya ku pasrahkan kepada Allah, aku percaya Allah pasti akan memberi yang terbaik bagiku.

Akhirnya, waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba, berdasarkan pengumuman hasil seleksi babak final ternyata aku mendapatkan juara pertama. Aku benar-benar senang hingga tak kuasa air mataku menetes. Aku masih tak percaya usahaku selama ini membuahkan hasil. Namaku dipanggil untuk maju ke panggung menerima hadiah. Aku mendapatkan uang, piala dan piagam penghargaan. Aku tersenyum lebar bersama pak Teguh selaku pembimbingku dan juri-juri lainya untuk diambil gambar. Aku akan mengabadikan pengalaman berhargaku ini di buku tulis kesayanganku. Berkat bimbingan pak Teguh, aku menghasilkan banyak karya dari ide-ide yang kumiliki, karya-karyaku ini menjuarai di berbagai event perlombaan baik tingkat kabupaten maupun nasional. Berbagai sertifikat yang kuperoleh berhasil membantuku masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur prestasi. Alhamdulillah aku bisa kuliah dan menggapai mimpiku.

Tentang Penulis :
Brilliana Ramadhani Zahra, lahir di Tuban. Saat ini duduk di kelas XII MIPA SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan. Menulis dan menggambar adalah hobinya. Bagi Andan, menulis adalah suatu kebahagiaan tempat menorehkan perasaan dan imajinasi di dalamnya.