Oleh : Anshori, S.H, M.H

Menjadi pengusaha di Indonesia ternyata belum menjadi cita-cita utama generasi muda, arus utama impian orang-orang Indonesia masih pada wilayah yang aman, yaitu menjadi pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta. 

Mindset menjadi pegawai masih merupakan idola, dan belum bergeser secara signifikan ke wilayah entrepreuneurshif, berdasarkan data di beberapa negara Indonesia menempati posisi terendah, pengusaha di Amerika serikat 11 persen dari jumlah penduduk, Cina 12 persen, Singapura 8,4 persen, dan Indonesia 1,8 persen. Dari 1,8 persen jumalh pengusaha Indonesia, bisa diprediksi bahwa yang dominan bukan pribumi. 

Pernyataan mendasar yang seharusnya mengemuka adalah, kenapa orang-orang Indonesia tidak tergerak motivasinya untuk menjadi pengusaha? Bila mencoba melakukan riset kecil-kecilan 10 anak diajukan pertanyaan antara menjadi pengusaha atau pegawai, asumsi yang muncul adalah hanya 2 dari sepuluh itulah yang memilih opsi menjadi pengusaha. Mindset menjadi pegawai itu sudah menjadi kultur kuat dan mengakar pada masyarakat. 

Hal tersebut mempertegas tesis Clifford Geertz, yang populer dengan trikotomik Geertz , bahwa di jawa ada tiga lapis atau strata sosial, yaitu kelompok priyayi, santri dan abangan. Priyayi simbol kemapanan dan kehormatan biasanya ditandai dengan gaya hidup yang berkelas (High level style) dan minim resiko. Dalam kelompok sosial orang dengan level priyayi ini memiliki otoritas memerintah dan mengatur. Level priyayi inilah yang menjadi rule model ( model hidup), dan menjadi inspirasi mayoritas orang Indonesia. Sehingga menjadi fantasi publik, khususnya orang-orang tua “ nak belajarlah dengan baik biar kelak menjadi PNS” tanpa dimaksudkan bahwa PNS merupakan profesi yang harus dihindari dan tidak baik. Hanya logika proporsional menegaskan bahwa ruang menjadi PNS tidak sebanding dengan orang yang berkeinginan menjadi PNS. Logika proporsional itulah yang meniscayakan lahirnya alternatif baru dan dalam konteks ini adalah upaya menggairahkan spirit entrepreneurship.

Jargon “Pegawai no, entrepreneurship yes”  paling tidak merupakan upaya kecil untuk melakukan perubahan mindset yang sudah mengakar pada kultur masyarakat tersebut. Perubahan mindset yang paling efektif tentunya adalah pendidikan. Sepanjang pendidikan hanya berkutat pada formalitas birokatis yang bersifat linier, maka pendidikan tidak akan pernah punya ruang untuk melakukan improvisasi ke arah terciptanya pengusaha. Untuk itu harus ada pendidikan yang memiliki keberanian untuk sedikit keluar dari pakem yang mengharuskan berjalan linier. 

Adalah DR.Antonio Syafii, penggagas perbankan syari’ah di Indonesia adalah termasuk tokoh yang secara konsisten mentranformasikan spirit kewirausahaan pada mahasiswanya melalui lembaga pendidikan yang ia pimpin (STEI At.Tazkia), menurutnya “ jangan pernah bermimpi menjadi pegawai negeri, tapi bermimpilah menjadi pengusaha”. Melakukan perubahan mindset tidak semudah membalikkan tangan, butuh suatu proses, disamping juga membutuhkan penggerak yang terus berkelanjutan mempromosikan, mengkapanyekan, mentranformasikan dan bahkan mendoktrinkan ideologi enterpreunership.

Sebagai orang Islam idealnya Nabi Muhammad SAW, lebih dari cukup sebagai sumber inspirasi, saat meminang Khotijah, pada waktu beliau berumur 25 tahun, pada umur yang masih relatif muda beliau mampu mengumpulkan finansial sedemikian luar biasa, betapa luarbiasanya, mahar yang diberikan kepada Khotijah adalah 20 onta muda, ada riwayat yang mengatakan beliau memberikan mahar 500 dirham. ( Buka Hasyiyah Syarqowi juz II halaman 265). 

Sebelum era kenabian Muhammad muda lebih dikenal sebagai seorang pedagang yang lebih mengedepankan kejujuran saat bertransaksi, dan kejujuran itulah menjadikan beliau sebagai pribadi pengusaha  memiliki daya tarik spesial sebagai seorang pedagang. Era kenabian, sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW juga dikenal sebagai pedagang-pedagang yang tangguh dan sukses, sebut saja profil sahabat Nabi yang bernama Abdur Rahman bin Auf, seorang pengusaha dermawan yang mampu mengelola finansialnya untuk kepentingan akherat. 

Cukuplah kehidupan Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya menjadi inspirasi ideal, yang sekaligus mempertegas keyakinan untuk tidak syak memilih menjadi pengusaha. Semangat menjadi pengusaha bukan bersifat mutlak untuk kepentingan  pribadi  tapi diorientasikan untuk kepentingan di jalan Allah. Spirit entrepreneurship generasi Islam awal idealnya terwariskan kepada generasi Islam hari ini, kalau hari terjadi sumbatan tranformasi spirit tersebut, itu semata-mata karena generasi hari tidak ada usaha untuk mengenal, dan ada indikasi menjauh dari contoh ideal di atas. Spirit yang barang kali harus dideklarasikan adalah “ Jadilah anda orang kaya dan jika sudah kaya belajarlah melupakannya” Salam Entrepreneurship.

*Penulis adalah Guru Mata Pelajaran PPkn SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Billfath Siman