Oleh : Drs. S. Helmy T., M.Psi., M.Pd.

Seorang Dosen (Dra. Hj. Nurain Lubis) di sebah perguruan tinggi di Sumatera Utara meregang nyawa, justru di saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Seorang mahasiswa FKIP itu tiba-tiba tega membunuh dosennya gara-gara skripsi. Inilah barangkali kado paling pahit dari peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini.

Begitu muramkah masa depan pendidikan di Indonesia? Kita tidak tahu karena kita bukan pemegang masa depan tapi setidaknya kita bisa melihat tanda-tanda yang tergambar di depan kita. Karena, sejatinya kitalah pemilik sah pendidikan ini. sayangnya, potret materialisme tidak hanya memengaruhi dunia pendidikan tapi pendidikan itu sendiri mengajarkan kepada kita materialisme itu sendiri. Pendidikan sekarang hanya bervisi “kertas-kertas” tanpa ruh hidup. Keberhasilan sebuah institusi sekolah, siswa, atau guru, sering kali dan malah selalu dilihat dari kerta-kertas tanpa nyawa itu. dunia pendidikan diriuhkan oleh catatan-catatan kertas bukan keberhasilan-keberhasilan moral yang terjaga.

Essensi pendidikan yang memuliakan manusia seakan tergerus oleh arus deras materialisme itu sendiri. Peran sentral guru (mursyid) dalam dunia pendidikan, apalagi pada K-13, yang hanya sebagai “moderator bisu” pendidikan, menjadi sirna. Perdebatan dan pergantian menteri tidak serta merta menaikkan esensi kualitas pendidikan. Pergantian hanya berifat artifisial, semisal siswa diganti murid atau peserta didik yang hakikatnya sama saja tidak menyentuh yang lebih dalam lagi.

Guru pun banyak yang hanya mengejar target KKM bukan mengejar dunia jiwa yang pada zaman ini terasa langka dalam dunia pendidikan, ialah dunia: cinta. Ketika para pendidik disibukkan oleh kertas-kertas kerja, apapun alasannya maka pada lelahnya mereka akan kehilangan cinta.

Hubungan guru-murid sekarang hanya bersifat formalitas: tatap muka, penugasan, dan nilai raport. Setelah itu: selesai. Padahal, hubungan yang lebih membumi dan memiliki ruh adalah ketika hubungan guru-murid itu dilandasi cinta, bahwa mencari lmu adalah mendekatkan diri kepada pencipta melalui “uswah” guru. Bagaimana kedekatan Mohammad Iqbal dengan guru spiritualnya Jalaluddin Rumi layak untuk dicermati. Tidak ada tatap muka, tetapi esensi ilmu pengetahuan dan kedekatan cinta dalam ilmu akhirnya mengantarakan muridnya menjadi orang yang berkuaitas.

Menjadi guru bukanlah hanya sekadar menjadikan anak pintar tetapi menjadikan mereka manusia berakhlak, pinjam kalimat Kyai Maemun Zubaer. Jadi, menjadi guru kalau hanya sekadar pintar maka akan menjadikan siswa menjadi “syetan” tetapi menjadi guru yang menjadi inspirasi maka masa depan bangsa akan menjadi cerah. Berbahagialah jika Anda menjadi guru dan lebih berbahagialah jika Anda menyiapkan cinta kepada murid sehingga ia merasakana kesejukan dalam tatapan teduh dan belain cinta dari Anda.