Oleh : Ki Ilyas

Hari itu angin sepoi berhembus dengan mesra merebak lembaran daun yang berserakan, gemerisik suaranya berbisik menyampaikan lirih hati yang terusik, dengan pelan – pelan memapah hati semakin menyusup ke keharuan kalbu yang paling dalam. Membawa diri dalam lamunan.

“Yaaaaaaah…aku harus tetap melangkah, menyusuri jalan berliku. Melangkah melanglang batas jiwa yang selalu terpana karena pesonamu. Terlalu naïf jika aku hanya berdiam di keramaian cintamu, berharap punguk merindukan bulan.”

Aku tertegun sejenak di undukan batu pertengahan bukit Gunung Kendil yang sejuk. Cakrawala biru bertabur kelabu awan putih, menyembunyikan lembayung yang seharusnya tersenyum mesra. Sementara itu masih terngiang di telingaku wejangan indah peneguh hati pelipur lara dari kakek yang tak kuasa menahan guguran bunga yang meminjam sayap burung perkutut tuk terbang antar pepohonan.

“Leeeee…Kehidupan silih berganti dan selalu berputar, ada siang ada malam. Ketika berada dalam cerah pagi, kita hanya berusaha dan berdoa semoga malam tidak terlalu cepat berganti. Ketika dalam keheningan malam, keinginan terdalam hanya bertemu kekasih pujaan. Yang tangguh bukan berarti tidak pernah rapuh, yang gagah perkasa bukan berarti tidak pernah kalah. Namun dia yang tangguh, tidak mau berlama-lama dalam keluh, dia yang gagah perkasa tidak mau berkelu kesah.”

Masih terngiang juga ketika nenek menyambung segenggam mutiara agar hati tak tersayat goresan bilah belati asmara.

“Leeeeee….ketika kepedihan merambah rasa, jangan liukkan tarian cemburu di tatap matanya, karena hanya akan menjadikannya bangga masih menjadi penguasa cintamu, jangan…jangan….jangan lakukan itu, menjauhlah di batas pandangnya dengan segurat senyum terbentang, keluarkan kekuatan hati seolah dia bukan yang terpenting di relung jiwamu, Percayalah ….. Kerajaan langit telah mempersiapkan sesuatu yang terbaik untuk yang selalu yakin akan Kekuasaan-Nya.”

“Leeee…Keyakinan diri adalah kekuatan yang cukup dahsyat, pengembara tangguh penembus liku pelaku rapuh…”

Aku terhenyak, seolah ada kekuatan baru yang menerobos gejolak kalbu, menerjang keluh yang telah lama membunuh keyakinanku. Aku melangkah menyusuri lembah dan terus melangkah. Tak terasa aku sudah melewati kembali ke perkampungan yang penuh aroma cinta. Aku berhenti sejenak melepas penat di sebuah warung kopi pojok kampung. Terlihat bapak paruh baya sendirian sambil menikmati secangkir kopi, tiba tiba terdengar suaranya yang sudah berat.

“Ngger…ini yang terbaik untukmu, ikhlas dan sabarlah, engkau akan bersyukur melebihi yang biasa engkau syukuri. Andai saja engkau tahu kemuliaan yang tersembunyi adalah rahasia dari sebuah jawaban Sang Maha Cinta dalam hening diri. Andai saja engkau tahu sebuah jawaban akan penafsiran semua ini karena cintaNya. Andai saja engkau tahu semua ini dariNya, hmmmmmmm…cuma engkau tak akan pernah tahu jiwa-jiwa kematian sebelum kematian dan dalam kematian ada penghidupan yang tersembunyi.”

Aku tersentak kaget dari mana dia tahu keadaanku, dan seolah-olah tahu isi hatiku. Tiba-tiba aku teringat secarik kertas yang aku simpan dan akan selalu tersimpan, lalu aku pun membukanya.

Ngger…
Dinding itu terlalu rapuh
Ruangan itu pun terlalu sempit
Langit pun tertutup mendung seakan gambaran jiwa
Merayu pikiran untuk sebuah keyakinan
Ada yang mengajak dengan tangan gemetar merengkuh untuk diyakini
Ada yang mendorong ragu agar berpegang teguh padaNya.

Ngger…
Pandangan mata kita terbatas fitrah yang sudah tertulis
Hati kita terlenakan keindahan sejati yang terus mengajak pergi ke kegelisahan diri
Jiwa kita tercampur kefasikan untuk menggoda iman
Ngger……
Terlalu banyak bisikan meniupkan janji
Terlalu banyak rayuan menjanjikan akhir abadi
Terlalu banyak desahan membius keyakinan diri
Tapi ingat, carilah satu saja

Dari balik hatimu,
Di kedalam jiwamu,
Di dalam teladan pesuruhNya,
Diantara ribuan Ayat- ayatNya,
Pasti engkau temukan ‘yang sebenarnya’
Yang akan selalu mencintaimu
dan mencintaimu ragawi

Aku lipat kembali kertas itu dan kudekap erat-erat di antara gemuruh dada yang membara.
“Aku harus tahu dan menemukannya, harus….harus..…” bisik hati terdalam dengan penuh keyakinan. Semburat lembayung senja memecah kelabu langit biru, menebar kembali warna-warni keabadian hati.

Sukobendu, September 2021

*Penulis adalah guru Matematika SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan dan pegiat literasi di “Jam’iyah Al Qohwah”.